NAMANYA tidak setenar nasi krawu, kolak ayam Gumeno, maupun ketupat kethek.
Namun, rasa dan tradisinya tidak dapat bisa dianggap angin lalu. Itulah
blunyo, makanan khas Sarimulyorejo yang terbuat dari tripang.
Langit
malam begitu cerah dengan temaran sinar rembulan. Angin pun ikut
menyemilirkan suasana, membuat kulit terasa sedikit kering. Sesekali,
bunyi-bunyian jangkrik maupun binatang malam lainnya terdengar jelas
mengiringi malam menjelang dini.
Di saat bersamaan, tepatnya di
pertigaan dusun yang lebih dikenal dengan ”Kampung Seng” itu, dibeber
tikar hingga radius 200 meter. Lampu jenis neon dinyalakan untuk
menerangi sekitar lokasi.
Di jalan penghubung kampung sisi
Timur-Barat dengan Selatan-Utara itu didirikan meja, lengkap dengan
mikrofon. Rupa-rupanya, para warga tengah bersiap mengadakan pesta
tasyakuran menyambut musim petik laut atau kegiatan menjelang musim
melaut.
Satu persatu pria berbagai umur keluar rumah untuk ikut
pesta tasyakuran. Dengan mengenakan sarung dipadu baju koko dan kopiah
hitam maupun putih, mereka mulai mencari tempat untuk menyantap blunyo
yang dimasak ala urap.
"Dekat panggung saja, biar dapat blunyonya banyak," ucap Ari Rahman (22) sambil menyilangkan kaki.
Dalam sekejap semua tikar terpenuhi. Acara segera dibuka dengan doa yang dipimpin salah seorang tokoh masyarakat.
Saat
doa penutup dibacakan, dari arah Timur tiba-tiba bermunculan banyak
wanita berjilbab dengan kebaya berjejar memanjang. Sambil menyunggi (mengangkat di atas kepala-red) temayang (tempat yang terbuat dari bambu-red), mereka berjalan beriringan menerobos tempat duduk sela di antara para pria.
Sambil
diiring bacaan Shalawat Nabi (pujian ke Nabi Muhammad-red), mereka
terus berjalan hingga mencapai ujung Barat. Kemudian, mereka berhenti
dan membalikkan badan, menghadap para pria untuk menurunkan temayang.
Ternyata temayang tersebut
berisi blunyo. Blunyo adalah makanan sejenis urap-urap yang berbahan
dasar tripang dicampur dengan ikan teri, udang, dan nasi.
Nur
Ghoyyib, ketua panitia tasyakuran petik laut mengatakan, blunyo adalah
warisan nenek moyang Kampung Seng yang dijadikan menu andalan kegiatan
petik laut.
Saat ini, blunyo mulai diminati sehingga . Menurut pengakuan Kepala Desa Pangkah Wetan, Syaifullah Mahdi, warganya mulai bangkit membuat blunyo.
"Mungkin
penyebabnya kurang terkenalnya makanan ini warga luar ujung pangkah belum mencobanya, jadi para warga khususnya
anak-anak lebih menyukai makanan instan, seperti jenis ayam goreng
produk luar negeri," katanya seraya meminta kepada Pemkab Gresik untuk
lebih memperhatikan tradisi makan blunyo kala tasyakuran petik laut.
Para
warga mengakui, keberadaan blunyo menjadi merupakan peneguh para
nelayan Dusun Sarimulyorejo, Desa Pangkah Wetan, Kecamatan Ujungpangkah.
Kaya protein
Blunyo adalah makanan
sejenis urap-urap yang berbahan dasar tripang, salah satu jenis tumbuhan
laut, dicampur dengan ikan teri, udang, dan nasi.
"Rasanya lezat. Kalau digigit agak kenyal. Semakin enak kalau dicampur urap-urap," jelas Ari.
Zubaidah
(22), warga Kampung Seng menambahkan, urap-urap tripang sangat disukai
warga karena mengandung banyak protein. Bahkan, juga mampu meningkatkan
stamina para nelayan.
"Blunyo disukai karena mengandung banyak protein," akunya.
Resep pembuatan
Bahan
dasar blunyo adalah tripang yang banyak terdapat di kawasan pantai,
terutama saat air laut menyusut. Saat itulah banyak warga mencarinya,
baik untuk konsumsi sendiri maupun dijual sebagai penghasilan tambahan.
Satu kilogram dihargai Rp2.000.
Sebelum diolah, tripang terlebih dahulu dibersihkan hingga benar-benar bersih. Kemudian, potong-potong kecil.
Tripang
tidak perlu dimasak, namun cukup dikucurkan dengan air mendidih. Cara
ini tentu berbeda dengan menu hewan laut kebanyakan.
Lalu, potongan tripang diaduk bersama serundeng yang dibuat dari parutan kelapa yang diberi bumbu sambal pedas.
Hasilnya seperti ini
"Agar
terasa lebih nikmat, bisa menambahkan kacang panjang, kecambah, dan
makanan laut lain, di antaranya udang, ikan asin, maupun sambal yang
pedas
0 komentar:
Posting Komentar